Shalat di kendaraan karena takut waktunya habis, Nasehat untuk para supir dan pengelola jasa transportasi

7.01.2010

Pertanyaan :
kami para wanita yang sekarang bekerja di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal kami, hal ini menuntut kami untuk berangkat sebelum masuk waktu shalat subuh, dan ketika waktu subuh masuk kami semua berada di dalam kendaraan, sementara kami sampai di tempat kerja setelah matahari terbit, sayangnya ketika waktu subuh masuk kami tidak bisa turun untuk shalat di masjid karena takut. Bolehkan kami shalat di kendaraan atau mengakhirkan shalat setelah kami sampai di tempat kerja?



Jawaban :
Satu hal yang sudah kita ketahui adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan shalat atas hamba-hamba-Nya, juga menentukan syarat, rukun, hal-hal yang wajib dan sunnah dalam shalat, serta menegaskan bahwa permasalahan waktu dalam shalat merupakan fardhu yang paling utama, Allah Ta’ala berfirman : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (An-Nisaa’ : 103). Dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- : bahwasanya seoang lelaki bertanya kepada nabi –Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- : wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling mulia? Beliau menjawab : “mengerjakan shalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, kemudian berjihad fi sabilillah”. (HR. Bukhari Muslim), serta dalil-dalil lain yang menyatakan akan besarnya kedudukan waktu shalat dan bahayanya mengakhirkan shalat.
Adapun terkait dengan pertanyaan diatas, dikarenakan besarnya kebutuhan untuk menjelaskan banyaknya permasalahan yang serupa, maka permasalahan ini kami rinci sebagai berikut :
Seseorang yang berada di dalam kendaraan lalu takut waktu shalat habis tidak terlepas dari dua keadaan dibawah ini :
Pertama : shalat yang masuk ketika itu adalah shalat yang tidak dapat di jama’dengan shalat setelahnya, seperti shalat subuh, asar dan isya. Dalam keadaan ini, wajib baginya untuk melaksanakan shalat dalam keadaan apapun, tidak boleh mengakhirkannya hingga waktunya habis, apabila memungkinkan baginya menghadap kiblat, memenuhi rukun, hal-hal yang wajib dan sunnah, ia kerjakan. Namun jika hal itu memberatkannya, maka hendaknya ia shalat semampunya dengan menunduk untuk ruku’ dan sujud, berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (At Taghabun : 16), dan sabda nabi –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- : “dan apabila aku memerintahkan kalian sesuatu, kerjakanlah sesuai menurut kemampuan kalian” (HR. Bukhari Muslim).
Kedua : shalat yang masuk ketika itu adalah shalat yang dapat di jama’ dengan shalat setelahnya, yaitu shalat dhuhur dan maghrib. Apabila dalam keadaan safar dan diperkirakan dia dapat melaksanakannya pada waktu shalat setelahnya dengan menyempurnakan rukun dan wajib shalat, maka wajib baginya untuk menjama’ ta’khir. Adapun jika ia bukan musafir, lalu takut waktu shalat habis sebagaimana sering terjadi di kota-kota besar disebabkan karena macet, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :
Pendapat pertama : wajib mengerjakan shalat tepat pada waktunya, dalam keadaan apapun yang ia hadapi dan tidak boleh mengakhirkan hingga waktunya habis. Pendapat ini berdasarkan kepada kewajiban menjaga shalat tepat pada waktunya, hanya saja pendapat ini menggugurkan kewajiban menghadap kiblat, berdiri, ruku’ dan sujud, sementara masih ada jalan keluar lain yang sesuai dengan syari’at
Pendapat kedua : dia boleh mengakhirkan shalat dengan niat menjama’nya pada waktu shalat berikutnya, berlandaskan bahwa menjama’ shalat pada waktu shalat berikutnya dengan menyempurnakan rukun dan wajib shalat lebih utama ketimbang menggugurkan rukun dan amalan wajib shalat serta syarat-syaratnya, terlebih disyariatkannya menjama’ shalat tidak dalam keadaan safar karena hal ini lebih ringan baginya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhu : “Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat dhuhur dan asar, maghrib dan isya’ di Madinah tidak dalam keadaan takut, safar”, dalam riwayat lain “tidak juga dalam keadaan hujan” (HR. Muslim), lantas ditanyakan kepada Ibnu Abbas : apa maksud nabi mengerjakannya? Dia menjawab : agar tidak memberatkan umatnya. Ibnu Hajar menambahkan : sekelompok para ulama mengambil dhahir hadits ini sehingga mereka membolehkan menjama’ dua shalat tidak dalam keadaan safar karena suatu kebutuhan yang mendesak, dengan syarat tidak dijadikan kebiasaan” (Fathul Bari : 2/24)
Pendapat inilah yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, juga agar tidak memberatkan mukallaf serta dapat menyempurnakan rukun dan wajib shalat, dan tercapainya maqosid syariah berupa khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat
Terakhir kami wasiatkan kepada para supir bus dan pihak-pihak yang terkait untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga shalat mereka, menentukan jadwal keberangkatan dan kedatangan bus dengan yang dapat menjaga waktu-waktu shalat, dan ini merupakan tanggungjawab mereka yang sangat besar karena amalan pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat ialah shalat pada waktunya. Wallaahu ‘Alam.
(Fatwa ini disetujui oleh : Prof. DR. Ali Muhyiddin Al Qurroh Daghi, Syekh Sulaiman bin Abdullah Al Majid, DR. Yusuf bin Abdullah Asy Syubaili, DR. Abdullah Nashir As Sulami, DR. Athiyyah Sayyid Fayyadh dan DR. Aqil bin Muhammad Al Muqthiri)
(www.islamfeqh.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Pengikut