Selayang Pandang Pegadaian

6.30.2010

Pendahuluan
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Akad pegadaian ialah suatu akad yang berupa penahanan suatu barang sebagai jaminan atas suatu piutang. Penahanan barang ini bertujuan agar pemberi piutang merasa aman atas haknya. Dengan demikian, barang yang ditahan haruslah memiliki nilai jual, agar pemberi piutang dapat menjual barang gadaian, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah disepakati.
Syariat pegadaian ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam telah memiliki sistem perekonomian yang lengkap dan sempurna, sebagaimana syariat Islam senantiasa memberikan jaminan ekonomis yang adil bagi seluruh pihak yang terkait dalam setiap transaksi. Penerima piutang dapat memenuhi kebutuhannya, dan pemberi piutang mendapat jaminan keamanan bagi uangnya, selain mendapat pahala dari Allah atas pertolongannya kepada orang lain.

Dalil-dalil Dihalalkannya Pegadaian
Agar tidak ada yang mempertanyakan tentang dasar hukum pegadaian, maka berikut ini saya akan sebutkan sebagian dalil yang mendasari akad pegadaian.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Bila kalian berada dalam perjalanan (dan kalian bermuamalah secara tidak tunai), sedangkan kalian tidak mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang gadai yang diserahkan (kepada pemberi piutang).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Pada akhir hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggadaikan perisai beliau kepada orang Yahudi, karena beliau berutang kepadanya beberapa takar gandum.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: اِشْتَرَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَاماً نَسِيْئَةً وَرَهْنَهً درعَهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan (gandum) secara tidak tunai dari seorang Yahudi, dan beliau menggadaikan perisainya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan kedua dalil di atas, juga dalil-dalil lainnya, maka para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang, secara global telah menyepakati bolehnya akad pegadaian. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya oleh Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma’ hlm. 96, Ibnu Hazm dalam kitabnya Maratibul Ijma’ hlm. 60, serta Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.

Pegadaian Dapat Dilakukan Di Mana Pun
Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, “Bukankah pada teks ayat di atas, Allah Ta’ala mempersyaratkan berlangsungnya syariat pegadaian adalah ketika sedang dalam perjalanan?”
Pertanyaan ini sebenarnya telah timbul dan dipermasalahkan oleh sebagian ulama sejak zaman dahulu. Bahkan, sebagian ulama, diantaranya Mujahid bin Jaber, ad-Dhahhak, dan diikuti oleh Ibnu Hazm –berdasarkan teks ayat di atas– berfatwa bahwa pegadaian hanya diperbolehkan ketika dalam perjalanan saja. [1]
Adapun jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan akad pegadaian di mana pun kita berada, baik ada saksi atau tidak ada, baik ada juru tulis atau tidak.[2] Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik berikut ini:
لَقَدْ رَهَنَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ درعاً لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْراً لِأَهْلِهِ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَاعَ برٍّ وَلاَ صَاعَ حُبٍّ وَإِنًّ عِنْدَهُ لتِسْع نِسْوَةٍ
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan perisainya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan beliau berutang kepadanya sejumlah gandum untuk menafkahi keluarganya. Sungguh aku pernah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di rumah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tersisa lagi gandum, walau hanya ada satu sha’ (takaran sekitar 2,5 kg),’ padahal beliau memiliki sembilan isteri.” (Hr. Bukhari)
Pada hadits ini, dengan jelas kita dapatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan perisainya di Madinah, dan beliau tidak sedang berada dalam perjalanan.
Adapun teks hadits yang seolah-olah hanya membolehkan pegadaian pada saat perjalanan saja, maka para ulama menjelaskan, bahwa ayat tersebut hanyalah menjelaskan kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, biasanya, tidaklah ada orang yang menggambil barang gadaian, melainkan ketika tidak mendapatkan cara lain untuk menjamin haknya, yaitu pada saat tidak ada juru tulis atau saksi yang terpercaya. Keadaan ini biasanya sering terjadi ketika sedang dalam perjalanan. Penjabaran ini akan tampak dengan sangat jelas, bila kita mengaitkan surat al-Baqarah: 283 di atas, dengan ayat sebelumnya (yaitu, ayat 282). [3]

Barang yang Dapat Digadaikan
Dari definisi pegadaian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Imam as-Syafi’i berkata, “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”[4]
Beliau juga berkata, “Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan.”[5]

Waktu Pegadaian
Sebagaimana dapat dipahami dari teks ayat di atas dan juga dari tujuan akad pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini ialah setelah atau bersamaan dengan akad utang-piutang berlangsung. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau berutang setakar gandum dari seorang Yahudi.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ ضَيْفاً نَزَلَ بِرَسُوْلِ اللهَ، فَأَرْسَلَنِي أَبْتَغِي لَهُ طَعَاماً، فَأَتَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ فَقُلْتُ: يَقُوْلُ لَكَ مُحَمَّدٌ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ بِنَا ضَيْفٌ، وَلَمْ يَلْقِ عِنْدَنَا بَعْضَ الَّذِي يُصْلِحُهُ، فَبِعْنِي أَوْ اَسْلِفْنِي إِلَى هِلاَلِ رَجَب. فَقَالَ الْيَهُوْدِيُّ: لاَ وَاللهِ لاَ أُسْلِفُهُ وَلاَ أَبِيْعُهُ إِلاَّ بِرَهْنٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: وَاللهِ إِنِّي لَأَمِيْنٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ أَمِيْنٌ فِي أَهْلِ اْلأَرْضِ، وَلَوْ أَسْلَفَنِيْ أَوْ بَاعَنِيْ لَأَدَّيْتُ إِلَيْهِ. اِذْهَبْ بِدِرْعِيْ!
Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan, “Pada suatu hari ada tamu yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengutusku untuk mencari makanan sebagai hidangan. Lalu, aku pun mendatangi seorang Yahudi, dan aku berkata kepadanya, ‘Nabi Muhammad berkata kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang datang kepada kami, sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat dihidangkan untuk mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (berupa gandum) kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajab.’ Maka, orang Yahudi tersebut berkata, ‘Tidak, sungguh demi Allah, aku tidak akan mengutanginya dan tidak akan menjual kepadanya, melainkan dengan gadaian.’ Maka, aku pun kembali menemui Rasulullah, lalu aku kabarkan kepada beliau, lalu beliau pun bersabda, Sungguh demi Allah, aku adalah orang yang terpercaya di langit (dipercaya oleh Allah) dan terpercaya di bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepadaku, pasti aku akan menunaikannya (melunasinya).’” (Hr. Abdurrazzaaq, dengan sanad yang mursal/terputus)
Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang.
Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan berikut:
1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
2. Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[6]
Sebagai contoh, bila ada orang yang hendak berutang kepada Anda, lalu Anda berkata kepadanya, “Saya tidak akan mengutangi Anda, melainkan bila Anda menggadaikan sepeda motor atau sawah Anda kepada saya.” Lalu, orang tersebut berkata kepada Anda, “Ya, saya gadaikan sawah saya kepada Anda sebagai jaminan atas piutang yang akan Anda berikan kepada saya.” Kemudian, setelah Anda selesai melakukan akad pegadaian, dimulai dari penandatanganan surat perjanjian gadai hingga penyerahan surat tanah, Anda baru bertanya kepadanya, “Berapa jumlah uang yang Anda butuhkan?” Maka, dia pun menyebutkan (misalnya) bahwa dia membutuhkan uang sejumlah Rp 30.000.000,-, dan Anda pun kemudian menyerahkan uang sejumlah yang dia inginkan. Pada kasus ini, akad pegadaian terjadi sebelum akad utang-piutang.

Hukum Pegadaian
Bila akad pegadaian telah dihukumi sah menurut syariat, maka akan akad pegadaian memiliki beberapa konsekuensi hukum. Berikut ini adalah hukum-hukum yang harus kita indahkan bila kita telah menggadaikan suatu barang:
Hukum pertama: barang gadai adalah amanah
Sebagaimana telah diketahui dari penjabaran di atas, bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan atas hak pemiliki uang. Dengan demikian, status barang gadai selama berada di tangan pemilik uang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya.
Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad mensyaratkan agar Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.[7]
Misalnya, bila Pak Ahmad menggadaikan motornya kepada Pak Ali, lalu Pak Ali menelantarkan motor tersebut, tidak disimpan di tempat yang semestinya, sehingga motor tersebut rusak atau hilang, maka Pak Ali berkewajiban memberi ganti rugi kerusakan tersebut.
Sebaliknya, bila Pak Ali telah merawat dengan baik, kemudian rumah Pak Ali dibobol oleh pencuri, sehingga motor tersebut ikut serta dicuri bersama harta Pak Ali, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti.
Hukum kedua: pemilik uang berhak untuk membatalkan pegadaian
Akad pegadaian adalah salah satu akad yang mengikat salah satu pihak saja, yaitu pihak orang yang berutang. Dengan demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian, melainkan atas kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki wewenang sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan untuk menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang tanpa ada jaminan, maka tidak mengapa.
Hukum ketiga: pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian
Sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemilik uang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta pegadaiannya batal dan tidak sah.[8]
Demikianlah hukum asal pegadaian. Namun, ada dua kasus, yang pada keduanya, pemilik uang (kreditur) dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian:

Kasus Pertama
Pemanfaatan barang gadai dipersyaratkan ketika akad pegadaian dalam akad jual-beli atau sewa-menyewa dengan pembayaran terutang. Hanya saja, para ulama menegaskan bahwa pemanfaatan barang gadai ini hanya dibenarkan bila:
1. Pada akad jual-beli, atau yang serupa.
2. Pemanfaatan barang gadai disepakati ketika akad jual-beli sedang berlangsung.
3. Batas waktu pemanfaatan yang jelas.
4. Metode pemanfaatan yang jelas.
Pada kasus semacam ini, maka kreditur dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, sebagaimana yang mereka berdua sepakati.
Bila kita cermati kasus ini dengan baik, niscaya kita dapatkan bahwa sebenarnya pada akad pegadaian ini terdapat dua akad yang disatukan, yaitu akad jual-beli dan akad sewa-menyewa.[9]
Sebagai contoh nyata, bila Anda menjual kendaraan kepada seseorang, dan ketika akad berlangsung terjadi kesepakatan sebagai berikut:
- Harga sebesar Rp 30.000.000,- dengan cicilan Rp 3.000.000,- tiap bulan.
- Pembeli berkewajiban menggadaikan salah satu rumahnya selama sepuluh bulan, yaitu selama masa kredit.
- Selama masa kredit, yaitu sepuluh bulan, Anda menempati rumah yang digadaikan tersebut.
Pada kasus ini, Anda dibenarkan untuk menempati rumah tersebut, karena pada hakikatnya, kendaraan Anda terjual dengan harga Rp 30.000.000,- ditambah dengan uang sewa rumah selama sepuluh bulan.
Akan tetapi, bila pada kasus ini, ketika pada proses negoisasi harga hingga akad jual-beli kendaraan selesai, Anda tidak mempersyaratkan untuk menempati rumah tersebut, maka anda tidak dibenarkan untuk menempati rumah tersebut. Dengan demikian, bila selang satu hari atau lebih, Anda mengutarakan keinginan itu kepada pembeli, maka keinginan ini tidak dibenarkan, dan bila Anda tetap melanggar, maka Anda berdua telah terjatuh dalam riba.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bila akad pegadaian terjadi karena adanya akad utang-piutang, dan bukan karena akad jual-beli atau akad sewa-menyewa, maka tidak dibenarkan sama sekali untuk memanfaatkan barang gadaian.
Misalnya, bila Anda mengutangi seseorang uang sejumlah Rp 10.000.000,-, dan orang tersebut menggadaikan sawahnya kepada Anda. Pada kasus ini, Anda tidak dibenarkan untuk menggarap sawahnya, karena bila Anda menggarap sawah tersebut, berarti Anda telah diuntungkan dari piutang yang Anda berikan, dan setiap piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila pemilik uang mempersyaratkan kepada penggadai agar ia menempati rumah yang digadaikan, mempekerjakan budak gadaian, mengambil kemanfaatan barang gadai, atau sebagian dari kegunaannya, apa pun bentuknya, dan barang gadainya berbentuk apa pun (rumah, hewan ternak, atau lainnya), maka persyaratan ini adalah persyaratan yang batil (tidak sah). Bila ia mengutangkan uang seribu (dirham) dengan syarat orang yang berutang memberikan jaminan berupa barang gadaian, lalu pemilik uang mempersyaratkan agar ia menggunakan barang gadaian tersebut, maka syarat ini tidak sah, karena itu merupakan tambahan dalam piutang.” [10]
Imam an-Nawawi berkata, “Tidaklah pemilik uang (murtahin) memiliki hak pada barang gadaian selain hak sebagai jaminan belaka. Murtahin tidak dibenarkan untuk ber-tasarruf (bertindak), baik berupa ucapan atau perbuatan tentang barang gadaiaan yang ada di tangannya, sebagaimana ia juga dilarang untuk memanfaatkannya. ” [11]

Kasus Kedua
Bila barang gadaian adalah binatang hidup, sehingga membutuhkan makanan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kedua belah pihak. Karena bila makanan binatang tersebut dibebankan kepada pemilik uang, ini merugikannya. Sebaliknya, bila dibebankan kepada pemilik binatang, maka akan merepotkannya, terlebih–lebih bila jarak antara mereka berdua berjauhan. Kasus ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَعَلَى الَّذِيْ يُرْكَبُ وَيُشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil bagi orang yang memperbolehkan pemilik uang untuk memanfaatkan barang gadaian, bila ia bertanggung jawab atas perawatannya, walau pemiliknya tidak mengizinkan. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan sekelompok ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa pemilik uang boleh memanfaatkan binatang gadaian dengan ditunggangi dan diperah susunya, senilai makanan yang ia berikan kepada binatang tersebut. Akan tetapi, dia tidak dibebani untuk memanfaatkan dengan cara-cara lainnya. Pendapat ini berdasarkan pemahaman terhadap hadits ini…..
Walaupun hadits ini sekilas tampak bersifat global, namun hadits ini secara khusus berkaitan dengan pemilik uang. Yang demikian itu, pemanfaatan barang gadaian oleh pemilik barang gadaian berdasarkan atas kepemilikannya terhadap barang tersebut, bukan karena sekadar ia memberi makanan kepada binatang gadaian, berbeda halnya dengan pemilik uang.”[12]

Penutup
Demikianlah paparan yang dapat saya utarakan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tiada kata yang lebih indah untuk mengakhiri makalah sederhana ini dibandingkan sebuah doa:
اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاغْنِنِا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rezeki yang halal dari-Mu, sehingga kami tidak merasa perlu untuk memakan harta yang Engkau haramkan. Cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu, sehingga kami tidak mengharapkan uluran tangan selain dari-Mu.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A.
(www.pengusahamuslim.com)
==========
CATATAN KAKI:
[1] Baca: Tafsir Ibnu Jarir at-Thabary: 3/139–140 dan al-Muhalla oleh Ibnu Hazm: 8/88.
[2] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/139, at-Tahzib oleh al-Baghawi: 4/3, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah: 6/444, dan al-Mabsuth oleh as-Sarahsy: 21/64.
[3] Baca: Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani: 5/157 dan Nailul Authar oleh asy- Syaukani: 5/326.
[4] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/153.
[5] Idem: 3/162.
[6] Baca: asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin: 9/125.
[7] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126–127, I’anatuth Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[8] Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[9] Baca Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[10] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/155.
[11] Raudhatuth Thalibin oleh Imam an-Nawawi: 3/387.
[12] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani: 5/144.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Pengikut